Mungkin… Kita Adalah Belanda

Menalar kemunafikan sendiri

Reni
4 min readAug 18, 2022

Tiap tahun kita merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia, tiap tahun pula upacara kenegaraan digelar. Selama saya hidup, pidato pembina upacara pasti tidak jauh bertemakan perjuangan pahlawan yang telah memutus rantai penjajahan.

Dinarasikanlah tentang bagaimana melaratnya bunga-bunga bangsa memperjuangkan kemerdekaan demi kedigdayaan rakyatnya di tanah sendiri. Tentu momennya mesti sakral dan patriotik. Kemudian, setelahnya dirayakan dengan lomba makan kerupuk, memasukkan kelereng, hingga panjat pinang dengan doorprize yang menarik. Setelah itu, hari berganti, semua orang kembali kepada aktivitas masing-masing.

Tak ada yang keliru dalam pesta kemerdekaan kita. Namun, rasanya syaraf di kepala kita ada yang sedikit putus. Sebab, beda dipikir beda dikata. Perayaan-perayaan ini seolah-olah hanya tradisi tahunan yang membuat kita merasa nimbrung atas kemerdekaan kita sendiri. Padahal nyatanya, jauh usaha dari hasil.

Misschien zijn we wel Nederlanders

Tradisi repetitif tahunan kita ini ada kemiripan dengan dosa kolonialisme Belanda. Pada tahun 1913, hal ini pernah dikritik oleh Ki Hajar Dewantara dalam Soerat Edaran no.1 yang berjudul “Djika Saja Nederlander”. Beliau membeberkan bagaimana Kerajaan Belanda bisa-bisanya bermuka dua — merayakan kemerdekaan di tempat mereka mempraktikan penjajahan. Bahkan, tak segan meminta iuran kepada priboemi untuk hajatan kemerdekaan mereka. Apakah urunan rakyat akan diganjar kemerdekaan pula dari mereka? Naif bila kita pikir seperti itu.

cuplikan “Djika Saja Nederlander” | sumber: Heritage Staff | Managing Digital Content (universiteitleiden.nl)

Dan sayangnya, kritik Ki Hajar Dewantara mesti ditelan juga oleh bangsanya sendiri. Setelah proklamasi tercetus, kita hanya bertukar pejabat penindas, dari Nederlander menjadi Inlader yang ternyata sama saja busuknya. Sebagian “Indonesia” nyatanya mewarisi tabiat penjajahnya terdahulu: arogan, merampok dalam payung yang legal, dan merasa paling berhak menentukan nasib yang ditindas. Maka bila hari kemerdekaan tahunan itu tiba, yang sesungguhnya dirayakan adalah kemerdekaan untuk menindas rakyatnya sendiri.

Penjajahan telah dihapuskan, tapi penindasannya belum.

Sudah 77 tahun umur Indonesia, tapi sisa-sisa roh kolonialisme masih menghantui. Mungkin rasa tertindas itu sedikit “terkompensasi” bila kita tinggal di bagian barat Indonesia, namun bagaimana dengan teman kita yang di Timur?

Sejak 2018, jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) diperkiraran sekitar 60–100 ribu orang. Teman-teman kita terpaksa meninggalkan rumahnya dan harta bendanya, ya karena siapa yang merasa baik-baik saja tinggal di arena baku tembak? Bahkan sebagian besar dari teman-teman Papua kita terpaksa hijrah ke Papua Nugini.

Apakah mungkin ide mengenai “terbebas dari rasa ketakutan dan ancaman” tidak termasuk dalam konsep kemerdekaan di Indonesia? Ironisnya, Papua Nugini yang desas-desusnya memiliki pamor tempat paling tak aman di dunia, nyatanya menjadi pilihan yang lebih aman ketimbang hidup di Indonesia.

Loh ini kan salah Kelompok Teroris Bersenjata?

Masalahnya, Indonesia seperti pasangan yang abusive, posesif, dan merasa paling berhak mengatur perilaku Papua. Bagaimana teman-teman di Papua akan mempercayai dan mencintai Indonesia yang kebarat-baratan ini kalau kita seringkali tidak menganggap mereka secara serius? Saya sebetulnya sedikit optimis terhadap apapun kemungkinan resolusinya, asalkan semua orang punya kesempatan yang sama untuk berpendapat dan menyatakan kemauannya tanpa paksaan. Atau mungkinkah saya terlalu naif? Apa bisa kita yang di barat ini diam dan mendengar teman-teman di Papua terhadap apa yang mereka inginkan?

Rasa optimis memang ada, tapi rasanya muluk betul harapan tersebut. Terlampau banyak kejahatan Barat yang terjadi di belahan Timur Indonesia. Kasus Paniai yang masuk sebagai pelanggaran HAM berat saja — masih belum menemui titik temu yang jelas. Satu hal yang paling saya tak mengerti adalah ketika PTUN menetapkan Presiden RI dan Keminfo bersalah terhadap tindakan mematikan akses internet di Papua; hukuman yang diberikan hanyalah denda 457 ribu rupiah? Apakah harga kebebesan akses masyarakat terhadap informasi — tak lebih mahal dari harga kemeja yang mereka pakai?

Dan tentulah perkara Papua bukan satu-satunya yang perlu diperbincangkan. Sebab masih ada Wadas, Labuan Bajo, hingga penduduk Kaltim yang terancam tergusur tanpa jaminan negara akibat pembangunan ibukota negaranya sendiri.

Merayakan kemerdekaan dengan gelisah

Membicarakan solusi tentang Papua dan teman-teman lainnya tentu bukanlah hal yang mudah. Namun, rasanya terlalu pongah bila kita merasa harus mendikte apa-apa yang menjadi kemauan teman-teman kita yang terdzalimi. Tapi siapalah saya membicarakan hal-hal rumit seperti ini, di kala saya cukup bersuka cita bersama tetangga untuk merayakan kemerdekaan yang didapat dari perjuangan leluhur saya:(

Dan karena saya tak ahli perihal ketatanegaraan, maka saya hanya akan menyadur akhir artikel “Djika Saja Nederlander”

Paragraf akhir dari “Djika Saja Nederlander….” oleh R. M. Soewardi Soerjaningrat | Sumber: Heritage Staff | Managing Digital Content (universiteitleiden.nl)

Sekali lagi: kalau saya seorang Belanda, sekali-kali tidak kubiarkan bangsaku memperbuat pesta demikian rupanya didalam negeri ini, yang dalam kungkungannya. Terlebih dahulu rakyat yang terkungkung itu diberi kemerdekaan, barulah rayakan hari kemerdekaan kita sendiri!” — R.M Soewardi Soerjaningrat.

--

--